Mempertanyakan bagian 'media' dan 'sosial' di media sosial
Keresahan pribadi soal attention economy alias susah amat sih cuma mau berteman
Waktu saya masih SMP, semua orang punya Friendster. Saya dan teman-teman akan berlomba menghias halaman sendiri jadi seunik mungkin, berdasarkan bahan yang ada di internet. Lalu, kami akan meninggalkan pesan “testimoni” di halaman masing-masing.
Bosan dengan Friendster, saya mencoba membuka akun MySpace. Rupanya, teman saya yang lain sudah terlebih dahulu punya akun Facebook. Saya ikut dengan dia. Lalu kami berteman, saling meninggalkan pesan di “wall” masing-masing. Facebook jadi seperti album foto, di mana kami saling menge-tag teman-teman di sekian banyak selfie (dulu sekali disebut selca) yang diambil di sekolah, saat waktu terlalu luang. Kami mengobrol dengan teman di fitur chat, yang terasa lebih hidup ketimbang SMS.
Tidak lama kemudian, saya mengenal Twitter. Awalnya, saya juga cuma menulis untuk teman-teman. Obrolan dilakukan dalam 140 karakter. Saling balas, saling hapal nama satu sama lain karena harus mengetik manual username teman karena belum ada fitur reply.
Waktu SMA, saya mendaftarkan diri untuk mendapat akses ke Instagram di saat platform tersebut masih baru tersedia di iOS. Sebagai pengguna Android (dari dulu hingga sekarang), saya rela menunggu untuk mendapat akses. Begitu bisa membuat akun, saya tidak punya teman di sana. Saya hanya berbagi foto yang saya anggap menarik, termasuk foto jempol kaki. Barulah kemudian Instagram jadi populer, di mana saya bisa mengunggah foto bersama teman di sana, menampilkan hidup sosial dengan bangganya, sebelum akhirnya album pribadi ini berubah jadi katalog gaya hidup masing-masing.
Beberapa tahun kemudian, di saat saya sudah menutup Facebook, muncul TikTok. Berbeda dengan yang lain, TikTok lebih menekankan bagian media dari media sosial ketimbang kata selanjutnya. Saya tidak tahu apa nama akun teman-teman saya di sana. Tidak penting. Tapi TikTok terlalu berisik dan cepat untuk saya, sehingga saya menghapus aplikasi tersebut tidak lama setelah mencoba dan gagal menikmatinya.
Hari ini saya bisa ditemui di Twitter dan Instagram. Di Instagram, saya banyak berbagi foto-foto bersama teman, jalan-jalan, ataupun resensi buku yang saya baca. Di Twitter, saya berceloteh, bercanda, mengobrol bersama orang yang saya kenal maupun baru kenal maupun tidak kenal, membagikan bacaan yang sudah saya baca ataupun yang baru ingin saya baca, dan berkomentar soal isu terkini, sampai mencari keributan dengan orang lain.
Entah kenapa, saya merasa lebih terhubung dengan orang-orang di Twitter. Mungkin karena lebih mudah buat saya mengumumkan kehadiran saya di sana, atau berinteraksi dengan orang lain dengan membalas mereka saja. Tidak perlu modal foto atau video, tapi dengan kombinasi huruf dan angka saja. Saya bisa berbagi pengalaman, dari yang bikin depresi hingga yang lucu atau menyenangkan buat saya pribadi. Saya jadi kenal orang-orang, meskipun hanya sebatas handle Twitter dan tidak pernah bertemu langsung dengan mereka. Twitter jadi tempat mengisi waktu dan kebosanan. Tidak tahu mau baca apa? Buka Twitter. Sedang tidak ingin ngapa-ngapain? Buka Twitter. Punya emosi yang tidak tersampaikan dan ingin marah-marah saja? Buka Twitter.
Hal ini berbeda dengan Instagram, di mana saya jadi kebingungan dengan apa yang sesungguhnya saya cari. Memang, sejak ada fitur DM dan Instagram Story, saya jadi lebih mudah memulai percakapan dengan teman-teman. Meskipun seringnya basa-basi, ini lebih baik daripada tidak berbicara sama sekali. Tapi makin ke sini, saya merasa jenuh sekali. Pertama, saya tidak tahu bagaimana saya bisa berpartisipasi di Instagram, dalam artian apa konten yang seharusnya saya bagikan. Kedua, Instagram lama-lama terasa seperti katalog produk, layaknya sebuah majalah yang lebih banyak iklannya ketimbang konten aslinya.
Saya sempat rajin sekali mengurus feed akun Instagram saya: mengambil foto dan video yang bagus, menjadwalkan postingan agar tidak tenggelam atau hilang begitu saja, hingga mendesain konten yang baik dan bermanfaat untuk orang lain. Waktu pandemi dan tidak bisa ke mana-mana, konten Instagram saya jadi dipenuhi foto sampul buku dengan resensi singkat di caption-nya. Pandemi berjalan agak lama, sehingga dalam hampir dua tahun akun saya seakan berubah menjadi akun khusus buku (ahem, bookstagram). Begitu kasus di Indonesia mereda dan saya mulai bertemu teman-teman di akhir pekan dan bahkan bepergian, konten-konten soal buku ini jadi bukan prioritas lagi. Jika dulu saya bisa membuat resensi semua buku, sekarang saya lebih pemilih: hanya yang benar-benar berkesan saja yang saya mau repot-repot buatkan kontennya.
Memang, saya bisa saja berpartisipasi dalam Instagram dengan konten yang lebih remeh di Instagram Story. Tapi entah kenapa, saya pribadi tidak begitu suka membagikan hal-hal yang betul-betul personal dan sehari-hari ke Instagram Story — termasuk hal-hal paling remeh sekalipun.
Kalau kembali pada premis media sosial sebagai sebuah jejaring yang mempertemukan banyak orang, maka saya lebih merasa cocok di Twitter. Memang, saya pun bertemu dengan orang-orang baru di Instagram, tapi sekarang untuk menjalin pertemanan dan koneksi baru rasanya sulit sekali. Di media sosial, harus ada konten yang menjembatani percakapan, baik itu sebaris kalimat maupun video satu menit. Anda tebak sendiri lah yang mana yang lebih mudah.
Kalau saya harus membuat kesimpulan: media sosial sebagai sebuah platform membagi pengguna jadi dua; mereka yang aktif berpartisipasi membagikan konten dan mereka yang secara pasif menikmati apa yang ada. Pihak yang pertama, tidak harus content creator, membantu menjaga daya tarik platform agar terus terisi dan ter-update. Kalau tidak ada mereka, media sosial akan jadi seperti koran saja yang isinya membosankan. Pihak yang kedua, menjadi penikmat dan juga target utama dari iklan-iklan yang ada di dalam platform. Dalam kerangka kerja attention economy, mereka adalah penyumbang perhatian terbesarnya.
Mungkin, saya jadi merasa lebih terhubung dengan orang di Twitter daripada Instagram karena perbedaan peran saya di kedua platform tersebut. Di Twitter saya berperan aktif, karena barrier to entry untuk berpartisipasi pun lebih rendah, sementara di Instagram saya berperan pasif, dan mungkin karenanya saya sekarang mengalami kejenuhan di sana. Perhatian saya yang sudah sedikit ini makin tercerai-berai karena diperebutkan oleh berbagai merek dan perusahaan.
Media sosial, dari Friendster hingga TikTok sekarang, berubah dengan drastis. Dari awalnya berjanji untuk menghubungkan banyak orang, sekarang platform berlomba-lomba menarik perhatian sebanyak-banyaknya dengan berbagai konten yang ada. Perhatian ini kemudian dimanfaatkan untuk menawarkan berbagai barang dan jasa ke pengguna.
Titik beratnya berpindah, dari sosial, ke media, ke sesuatu yang sama sekali berbeda: entah itu attention economy, hypercapitalism, atau bahkan alienation yang membuat kita makin merasa sendirian dan tertinggal dari orang-orang lain.
Saat sudah begini, apakah masih layak untuk disebut media sosial?
Media apa yang sekarang hadir, dan apa gunanya? Mengutip Tim Wu dalam buku The Attention Merchants, “Within twenty years of having been declared king, content seemed to be on the road to serfdom.” Konten cuma jadi budak dalam melanggengkan attention economy.
Sosial dalam bentuk apa? Siapa yang bersosialisasi, dan interaksi macam apa yang terjadi? Tidak heran kalau sekarang, parasocial relations alias hubungan yang berat sebelah makin umum ditemukan di platform media sosial. Tidak kenal, tapi tahu banyak. Ada interaksi, tapi seringkali berat sebelah. Dibilang membantu, ya belum tentu. Banyak figur di media sosial yang belum mengedepankan transparansi, sehingga kita tidak tahu apakah rekomendasi dari orang tersebut betul-betul tulus atau hanya pesanan.
Jelas, saya tidak akan mengkampanyekan untuk menutup akun di media sosial. Saya tidak tahu apa tujuan dari tulisan ini, selain menuangkan keresahan yang sedang saya miliki — yang terlalu panjang untuk dibagikan di Twitter, sekaligus terlalu merepotkan untuk jadi gambar atau video di Instagram. Saya juga masih mudah terlena dengan iklan-iklan dan konten promosi, dengan sukarela menyumbangkan perhatian saya untuk perusahaan yang kemudian mengambil uang saya (sialan juga kalau dipikir-pikir).
Saya tidak berencana membahas soal attention economy pada awalnya, namun sembari menulis ini, akhirnya memang itu kerangka yang paling pas untuk digunakan. Tentu saja saya juga bekerja di sebuah media, yang ikut berebut perhatian orang. Tapi mungkin, supaya tulisan ini tidak suram amat, saya akan meminjam konsep flow dari Mihaly Csikszentmihalyi (daripada baca buku self-help yang tidak membantu amat, lebih baik baca Flow karya Beliau karena buku ini adalah rujukan dari sekian banyak self-help yang beredar di pasar).
Pada dasarnya, hidup itu adalah serangkaian momen. Pada setiap saat, kita memusatkan perhatian pada sesuatu. Untuk punya hidup yang bermakna, kita harus memastikan bahwa kita memperhatikan hal-hal yang bermakna juga. Ketika kita bisa melakukan ini dan mengembangkan diri kita sendiri berdasarkan apapun yang kita pilih, kita bisa bilang bahwa hidup kita bermakna dan kita sudah memperkaya diri lewat pengalaman tersebut.
Mungkin, pada akhirnya yang penting dari segala bentuk media dan interaksi sosial dalam media sosial adalah maknanya dalam jangka panjang. Apakah ini bisa memperkaya diri dan hidup kita, apakah hanya sebagai alat untuk buang-buang waktu saja (dan menjadikan kita bahan eksploitasi perusahaan dan influencer)?
(Saya juga suka buang-buang waktu, tapi tentu saja tidak boleh sebanyak itu. Tahu sendiri lah batasnya di mana.)
Setuju kak, semakin ke sini bermunculan media sosial baru. Dunia maya ini semakin ramai sana hehe