Bayangkan keluarga kamu. Siapa yang ada di pikiranmu? Ayah, ibu, kakak, dan adik? Atau termasuk dengan kakek, nenek, paman, bibi, sepupu, keponakan, dan lain-lain?
Sejak saya membaca artikel The Nuclear Family Was A Mistake dari The Atlantic, pandangan saya soal keluarga jadi berubah. Sejak SD saya diajarkan bahwa keluarga ada dua jenis: keluarga nuklir dan keluarga besar. Keluarga nuklir berisi saya, saudara kandung, ayah, dan ibu. Sampai sebelum saya membaca artikel ini, saya merasa seperti itulah keluarga seharusnya. Belum lagi, saya terpapar doktrin-doktrin soal kemandirian keluarga nuklir. Salah satu yang umum: “Tidak boleh ada dua ratu dalam satu rumah” (alias jangan mau tinggal bersama ibu mertua) dan bahwa orang dewasa sudah seharusnya punya rumah sendiri, apalagi ketika mulai berumahtangga.
Artikel ini membahas soal betapa berbahayanya doktrin keluarga nuklir, yang membuat orang dewasa kesulitan menanggung beban sebagai individu, merawat anak, dan juga merawat orangtua yang mulai menua; sekaligus berbahaya untuk anak-anak yang mungkin hidupnya menjadi tidak stabil karena orangtua yang memang tidak selalu ada karena harus menjalani berbagai peran tersebut. Ada pepatah “it takes a village to raise a child”, artikel ini mengamininya.
Selayaknya keturunan Tionghoa, keluarga besar saya benar-benar besar. Ibu saya sepuluh bersaudara dan ayah saya tujuh bersaudara. Sebagian besar keluarga saya masih tinggal di Cikarang, dan berinteraksi erat dengan saling mengunjungi rumah satu sama lain atau bertemu di pasar atau tempat ibadah. Dulu, ketika saya masih jadi anak remaja menyebalkan yang penuh dengan pemikiran individual (belakangan saya baru tahu ini namanya pemikiran neoliberal), saya menganggap punya keluarga besar itu merepotkan. Banyak orang berarti banyak masalah, banyak potensi drama, dan banyak membuat sakit kepala. Setelah saya banyak terpapar pada pemikiran-pemikiran yang lebih mengarah pada komunitas dan kolektif, saya bisa menemukan keindahan dari hubungan-hubungan yang rumit ini.
Tapi ternyata pembelajaran tentang keluarga tidak berhenti pada di situ saja. Tulisan Fadiyah Alaidrus di Project Multatuli membawa saya ke pengertian baru soal keluarga: bukan cuma yang ada bersama kita sejak lahir, sebuah hasil lotere genetik dan karmik, tapi orang-orang yang kita pilih untuk saling menerima dan mengasihi, dan memberikan rasa aman yang mungkin tidak bisa disediakan oleh hubungan darah. Laporan Fadiyah ini berpusat pada remaja dan anak muda LGBTQ+ yang tersingkir dari rumah dan keluarga mereka sendiri, dan memilih pergi untuk menemukan ruang aman masing-masing. Sebagai orang yang cis (lahir dengan kelamin wanita dan mengidentifikasikan diri sebagai perempuan) dan straight (menyukai lawan jenis), saya baru menyadari bahwa pemahaman soal keluarga yang selama ini kita terapkan (ayah, ibu, dan anak-anak) itu masih sangat heteronormatif dan patriarkis. Tidak heran bahwa kemudian, pemikiran-pemikiran baru soal keluarga muncul ketika politik identitas gender semakin menguat. Bagaimanapun, orang-orang yang kita anggap berbeda perlu membayangkan bentuk keluarga mereka sendiri, seringkali atas dasar keterpaksaan.
Sebuah novel yang baru saya baca, Detransition, Baby karya Torrey Peters, membahas soal nuansa identitas gender dan keluarga di komunitas LGBTQ+ Amerika Serikat. Berlatar belakang di New York, novel ini menceritakan soal sepasang mantan pasangan transpuan lesbian, Amy dan Reese, yang bertemu kembali setelah Amy kembali menjadi laki-laki (detransisi) dan menghamili seorang perempuan, Katrina. Rumit? Ya, memang. Ames (nama Amy setelah detransisi) berpikir bahwa dia mau membesarkan calon anaknya dan terus menjalin hubungan dengan pasangannya, tapi dia tidak sanggup jika dia didefinisikan sebagai seorang “ayah” yang maskulin. Oleh karena itu, dia meminta bantuan Reese untuk menjadi co-parent atau orangtua dari bayinya juga. Yang menarik, saat Ames hidup sebagai Amy, Reese adalah sosok “orangtua” yang juga membimbing Amy dalam kehidupan sebagai seorang transpuan.
Bacaan-bacaan ini membuat saya berpikir ulang soal apa itu keluarga dan relasi kita dengan orang-orang yang kemudian kita anggap bagian dari keluarga, meski tidak terhubung dengan darah. Di Indonesia kita sering berucap “sudah dianggap saudara sendiri” untuk menjelaskan pertemanan-pertemanan yang sungguh karib. Dari novel Detransition, Baby, saya melihat ada kemungkinan bahwa “saudara” atau “keluarga” dalam sebuah pertemanan tidak cuma sebatas “kakak-adik” tapi juga lebih kompleks seperti “orangtua-anak”. Ini jadi penting karena selama ini, posisi orangtua hanya bisa dipenuhi kalau kamu sudah menikah dan memiliki anak dengan pasanganmu. Dalam perspektif yang queer ini, kamu tidak harus menikah atau bahkan hamil untuk bisa menganggap dirimu sebagai orangtua dan membangun sebuah keluarga. Selama ini, keluarga pun cenderung memberi beban lebih kepada perempuan — yang harus menanggung emotional labor, kerja-kerja domestik, dan juga reproduksi. Dengan keluar dari pandangan heteronormatif, mungkin kita juga bisa membongkar relasi antargender untuk bisa jadi lebih setara.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan: Tentang Keluarga yang ditulis oleh Sekolah Pemikiran Perempuan.
“Kami mengkhayalkan suatu keluarga, yakni kumpulan yang saling menjaga, mengamankan dan mendukung. Keluarga ini tidak perlu ditentukan oleh silsilah heteronormatif, tetapi oleh cinta dan solidaritas.” - Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan
Saya rasa benar bahwa “keluarga” sesungguhnya adalah sebuah khayalan. Dan layaknya khayalan iseng yang muncul pada suatu siang bolong, khayalan tentang keluarga ini mungkin bisa membebaskan kita dari kungkungan yang selama ini kita anggap sebagai apa yang normal hanya karena berdasarkan rutinitas. Khayalan ini tidak meminggirkan bentuk-bentuk keluarga yang sudah ada selama ini, pun tidak mengecilkan arti keluarga yang lahir dari ikatan darah.
Kalau Tolstoy berkata bahwa setiap keluarga tidak bahagia dalam caranya masing-masing, mungkin sekarang kita bisa berucap: keluarga adalah keluarga dalam caranya masing-masing, selama ikatannya dibentuk oleh cinta dan solidaritas.