Belajar Berhenti, Menyerah, dan Beristirahat
“Tidak produktif itu tidak apa-apa,” kata pimpinan redaksi Project M, Fahri Salam. Saya rasa, itu ada benarnya.
Salah satu hal yang paling melegakan buat saya belakangan ini adalah ketika saya mengaku tidak punya waktu dan tenaga untuk mengerjakan satu proyek tulisan yang sebenarnya saya sudah setujui di awal. Ternyata, hanya karena saya ingin dan saya dipercaya mampu, belum tentu saya benar-benar bisa mengeksekusinya.
Untungnya, rekan-rekan kerja saya paham dan tidak mengganggap ini sebagai masalah besar. Saya kemudian bertanya-tanya kenapa butuh waktu lama bagi saya untuk mengaku bahwa saya tidak bisa, bahkan ketika saya sudah menyerah diam-diam dengan menunda-nunda mengerjakan tugas itu.
Mungkin, saya memang masih belum bebas sepenuhnya dari rezim “kerja, kerja, kerja” atau workism.
Pekerjaan sudah jadi aktivitas utama dalam kehidupan kita. Anak-anak dididik untuk sekolah supaya bisa menjadi pekerja yang terlatih. Kita menempatkan pekerjaan di tengah rutinitas kita, hanya menggunakan waktu-waktu yang tersisa untuk melakukan hobi dan hal-hal lain yang membuat kita jadi manusia yang bisa menikmati hidup. Workism adalah sesuatu yang membuat frasa “earn a living” menjadi wajar, karena kita diajarkan untuk bekerja keras supaya bisa hidup. Pada akhirnya, kerja untuk hidup menjadi hidup yang didedikasikan untuk kerja.
“What is workism? It is the belief that work is not only necessary to economic production, but also the centerpiece of one’s identity and life’s purpose; and the belief that any policy to promote human welfare must always encourage more work.” - Derek Thompson, The Atlantic
Di pekerjaan pertama saya setelah lulus kuliah, saya bekerja keras. Saya bangun pagi untuk mengurus artikel-artikel koran yang belum ada versi digitalnya, tapi saya pun harus tetap siap sedia jika ada kejadian mendadak (breaking news) yang terjadi setelah jam kerja. Saya dengan semangat mengajukan beberapa inisiatif, dan tidak keberatan kalau disuruh mengerjakan tugas yang sebenarnya di luar job description. Saya piket di akhir pekan dan hari libur nasional. Saya jarang mengambil pengganti libur karena bingung mau berbuat apa dengan gaji yang seadanya. Saya dipuji banyak orang karena rajin, punya ide brilian, dan bisa diandalkan. Lalu saya kena PHK.
Untungnya: saya segera mendapatkan pekerjaan baru di industri lain yang lebih menjanjikan.
Sialnya: saya terlalu melekat pada pekerjaan lama saya, memandangnya sebagai bagian dari identitas, sehingga saya kesulitan beradaptasi di pekerjaan baru. Saya cuma bertahan delapan bulan sebelum akhirnya mundur karena merasa tidak cocok, sehingga saya merasa tidak kompeten. Padahal secara finansial, pekerjaan baru ini menawarkan stabilitas dan kesejahteraan.
Kemudian saya pindah ke sebuah yayasan yang dimiliki satu keluarga konglomerat. Saya suka dengan bidang yang saya geluti saat itu: pendidikan dan kesehatan anak usia dini. Sayangnya, sistem kerja yang sangat korporat membuat saya tidak betah. Saya kewalahan karena banyaknya rapat dan tugas yang tidak kunjung reda, belum lagi tekanan untuk bekerja di kantor di tengah badai varian Delta COVID-19. Saya ingat setelah tak lama memulai bekerja di kantor ini, saya harus mengganti tampilan bullet journal saya yang tadinya berisi tugas singkat per hari menjadi sangat mendetail dari jam per jam. Setelah itu baru saya sadar: saya kewalahan karena memang tidak punya waktu berpikir. Saya diharapkan untuk mengerjakan tugas lain selagi rapat juga. Tidak heran saya merasa kehabisan napas.
Saya hanya bertahan dua bulan. Lalu saya mulai bekerja di Project Multatuli, yang bekerja dengan prinsip slow journalism alias jurnalisme telaten. Tidak disangka, saya sebagai pekerja juga dipaksa belajar memelankan ritme. Untuk menjadi lebih santai. Lebih telaten. Bernapas.
Kebiasaan saya di kantor lama: jika ada rapat, para pekerja sudah harus ada di ruangan rapat daring sepuluh menit sebelum dimulai. Saat baru bekerja di Project M, saya kaget bahwa orang-orang baru mulai masuk ke ruangan rapat setelah rapat seharusnya dimulai. Tidak jarang rapatnya terlambat lima atau sepuluh menit. Saya merasa stress di awal, tapi kemudian saya sadar bahwa tidak ada gunanya begitu galak perihal ini. Toh, rapatnya tetap efektif karena agendanya jelas, bukan sekadar rapat yang seharusnya jadi pengumuman di surel saja. Lima atau sepuluh menit itu tidak ada artinya dibandingkan delapan jam kerja.
Tidak lama setelah saya memulai pekerjaan di Project M, kolega/teman saya juga menuliskan sebuah laporan berjudul Generasi Burnout. Memang, subjeknya seputar mahasiswa yang terpaksa magang atau menyambi pekerjaan sambil kuliah demi CV yang lebih gemilang. Akan tetapi, laporan ini membuat kami secara organisasi juga berkaca diri soal kebiasaan untuk kerja, kerja, kerja yang sudah dilanggengkan apalagi di industri media. Di akhir tahun 2021, kami memutuskan mengambil jeda atau liburan dua minggu — suatu hal yang mustahil ketika saya masih bekerja di media arus utama.
Bahkan setelah setahun lebih bekerja dengan ritme yang lebih santai, dengan kolega yang sama-sama mengerti bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari hidup selain mengabdikan diri pada pekerjaan, saya masih kesulitan untuk melepaskan diri dari workism. Saya masih suka mempertanyakan diri sendiri, apakah saya sudah cukup produktif? Apakah saya malas? Apakah saya bisa melakukan lebih dengan waktu yang saya miliki?
Mungkin, kita terlalu banyak terpapar perspektif yang mengatakan bahwa punya produktivitas itu baik untuk diri sendiri, karena melakukan sesuatu yang kita sukai itu sesungguhnya membuat kita bahagia dan memberikan kesempatan untuk kita berkembang (baca Flow karya Mihaly Csikszentmihalyi, dan punya tujuan secara professional maupun personal bisa memberikan arti dalam hidup (baca Man’s Search for Meaning karya Viktor E. Frankl atau Drive karya Daniel H. Pink).
Semua ini tidak salah. Tapi mungkin masalahnya ada pada diet perspektif yang tidak seimbang: kita tidak cukup mendapatkan perspektif atau anjuran untuk beristirahat, untuk mengambil jeda demi berpikir atau kabur sejenak dari rutinitas supaya tidak terjebak atau malah jadi gosong karena burnout. Ketika kita bersenang-senang, kita malah merasa bersalah karena jadi tidak produktif. Ketika kita jenuh dan mencoba hal baru, kita dicap kurang disiplin dan komitmen (padahal menurut riset behavioral science, mencoba hal baru atau aktivitas lain penting dan malah bisa membantu kita menyelesaikan masalah di aktivitas utama termasuk pekerjaan — baca Range karya David Epstein).
Saya mengetik ini di tengah liburan akhir tahun. Meskipun saya baru membuka laptop lagi sejak menutupnya pekan lalu, saya sudah memikirkan beberapa hal yang harus saya lakukan begitu saya kembali bekerja. Pada akhirnya, benar bahwa pekerjaan bisa jadi menyenangkan dan kita tidak bisa benar-benar lepas dari naluri untuk menjadi produktif: untuk melakukan sesuatu hanya karena kita suka, atau karena kita percaya dengan apa yang kita lakukan, entah karena tujuannya atau artinya.
Tapi saya juga percaya bahwa pekerjaan tidak harus menjadi sesuatu yang mendominasi hidup kita, mulai dari waktu yang kita relakan, sebagian dari identitas, hingga hal-hal lain yang kita korbankan untuknya. PR terbesar saya sendiri adalah untuk tidak mengukur nilai saya (self-worth) dari seberapa produktifnya saya bekerja, sehingga ketika saya butuh istirahat, saya tidak merasa malas, tidak kompeten, dan tidak berguna — yang malah membuat saya depresi di waktu rekreasi.
Dalam bukunya yang berjudul Bullshit Jobs, antropolog sekaligus aktivis David Graeber menyebutkan adanya kekerasan rohani (spiritual violence) yang muncul ketika kita dipaksa untuk mengerjakan sesuatu hanya supaya ada pekerjaan yang kita lakukan atau supaya ada orang yang melakukannya. Pekerjaan-pekerjaan omong kosong ini membuat kita merasa kehilangan harapan, depresi, dan membenci diri sendiri.
“Bullshit jobs regularly induce feelings of hopelessness, depression, and self-loathing. They are forms of spiritual violence directed at the essence of what it means to be a human being.” - David Graeber, Bullshit Jobs
Mungkin, sebagian besar dari kita beruntung bisa memilih pekerjaan yang baik: yang punya arti, dampak, dan tujuan yang jelas, bukan sekadar omong kosong saja. Mungkin yang kita rasakan tidak seekstrem ini, tapi saya menganggap kekerasan rohani ini sebagai sesuatu yang umum terjadi perihal kita dan pekerjaan. Kita terlalu sibuk pada produktivitas, terpaku pada perkembangan diri, fokus pada tujuan di mana kita percaya bisa menemukan arti hidup, sampai kita lupa cara menjalani hidup itu sendiri. Kita terlalu berdedikasi dalam peran kita sebagai pekerja, hingga kita lupa apa rasanya menjadi manusia.
We’ve all earned the right to live. Now, live it.